Laman

Sabtu, 05 Juni 2010

Cina Benteng

Orang Tionghoa datang ke Indonesia dalam beberapa gelombang dari dinasti berbeda , jauh sebelum kedatangan orang Eropa. Diantaranya yang datang ke teluk Naga dipesisir Tanggerang dengan perahu perahu tiongkok berhiaskan Naga disekitar abad ke 15 sebelum portugis dan belanda datang ke Batavia. Kemudian diikuti terjadinya perkawinan campur dengan wanita setempat sehingga berkembang komunitas tionghoa peranakan yang secara lambat laun berkembang di Tanggerang. Sebutan cina benteng timbul saat belanda sudah hadir di Batavia , bagi komunitas peranakan Tionghoa yang bermukim didekat benteng kompeni. Komunitas ini adalah keturunan cina Hokkian, para lelaki yang sebagian besar berprofesi sebagai petani, buruh atau pedagang kecil. Masyarakat cina benteng terbagi menjadi dua, warga udik ( Cukang Galih, Ledok, dan pedalaman lainnya ) dan warga perkotaan ( kota Tanggerang ). Mereka beralkuturisasi selama berabad abad dengan budaya setempat sehingga unsur budaya tionghoa peranakan mewarnai budaya betawi begitu juga sebaliknya. Hingga saat ini hubungan harmonis dengan budaya betawi masih terjaga, banyak diantara mereka terutama cina benteng udik masih memegang teguh tradisi luhur antara lain upacara perkawinan tradisional Chio Thauw ( yang di cina daratan sendiri konon sudah jarang dilakukan, dengan memperhitungkan waktu setiap detail upacara perkawinan, menggunakan pakaian tradisional untuk ke 2 mempelai, disertai pesta pertunjukan kesenian seperti gambang kromong, cokek ) , upacara kematian, dll. Pada umumnya mereka tidak bisa berbahasa mandarin karena sudah lama hidup beralkulturisasi , sebagian besar dengan bahasa betawi dialeg sunda pesisir. Keberadaan mereka menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia mengalami proses sejarah yang panjang , menyimpan jejak generasi dulu yang memiliki semangat multikultur , siap menerima perbedaan, melakukan dialog budaya, bahkan beralkulturisasi secara sempurna. Belakangan ini keberadaan mereka terancam hilang karena penggusuran dan pembangunan perumahan modern. Sungguh sayang, seharusnya keberadaan komunitas ini dapat dipertahankan.
Sumber : Kehidupan, Kompas, 30 Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar